Sejarah Berdirinya Cirebon Kerajaan Islam
Sejarah Cirebon berawal pada abad ke-14. Mulanya ia hanyalah sebuah desa nelayan kecil di pantai utara Jawa Barat. Desa itu bernama Muara Jati, terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati adalah juga pelabuhan nelayan kecil.
Desa kecil itu berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh. Pemerintahan Galuh yang beribukota di Rajagaluh itu, kemudian menempatkan seorang pengurus pelabuhan, atau dikenal dengan jabatan Syahbandar, bernama Ki Gedeng Tapa.
Sebagai manajer sekaligus administrator yang ulung, Ki Gedeng Tapa mampu menjadikan pelabuhan Muara Jati semakin besar dan ramai. Banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari luar negeri, terutama saudagar-saudagar dari Cina. Hingga akhirnya Muara Jati menjadi pelabuhan utama Kerajaan Galuh.
Sejarah Cirebon Berbagai komuditi pun diperdagangkan, mulai dari beras, rempah-rempah, emas, tekstil, alat-alat rumah tangga dan barang-barang pecah-belah, hingga garam dan terasi turut meramaikan perdagangan. Tak salah bila waktu itu, cikal-bakal Cirebon telah menjadi pusat perdagangan dunia, setidaknya Asia Tenggara.
Peta wilayah Kerajaan Cirebon
Kesuksesan Ki Gedeng Tapa
Kesuksesan Ki Gedeng Tapa telah mengantarkannya pada posisi elit dan terhormat di kerajaan Galuh. Sebagai penghormatan dan tradisi waktu itu, putrinya bernama Nyi Subang Larang dipersunting oleh Putera Mahkota Galuh bernama Raden Pamanahsari.
Sewaktu menjadi Raja Galuh, menggantikan ayahnya Prabu Dewata Niskala, Raden Pamanahrasa bergelar Prabu Siliwangi. Dalam bahasa Sunda, Siliwangi berasal dari kata “kasilih wawangian”. Pengertian bebasnya adalah penerus atau pelanjut keharuman nama Sang Kakek yang bernama Prabu Wastukancana.
Dengan demikian, Prabu Siliwangi adalah nama julukan karena sikap dan prilaku Raden Pamanahrasa yang “menambah Wangi” nama Sang Kakek, Raja Galuh pendahulunya. Gelar aslinya sebagai raja adalah: Sri Baduga Maharaja Prabu Guru Dewata Prana, atau Prabu Jaya Dewata.
Pada masa Prabu Siliwangi inilah Kerajaan Galuh ini semakin kuat dan meluas. Bila memakai alang berhasil mendirikan sebuah pemukiman di Lemah Wungkuk, dan banyak membuka lahan baru untuk pertanian, yang semula lahan tidur yang banyak di tumbuhi ilalang.
Sejarah Cirebon Selanjutnya areal tersebut banyak dihuni oleh kalangan pendatang, saudagar dan pedagang asing, dari berbagai daerah dan luar negeri. Pemukiman tersebut selanjutnya diberi nama daerah Caruban yang artinya Campuran. Tempat berasimilasi, simbul pluralisme, keterbukaan, dan egalitarian dan metropolitan.
Prabu Siliwangi kemudian mengangkat Ki Gedeng Alang-alang sebagai pemimpin wilayah di areal pemukiman baru tersebut dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya meliputi: Kali Cipamali sebelah timur, Cigugur (Kuningan) sebelah selatan, pegunungan Kromong di sebelah barat, dan Junti (Indramayu) sebelah utara.
Sebagai rasa terima kasihnya kepada Raden Walangsungsang, yang kelihatannya tidak disadarinya merupakan anak Prabu Siliwangi, Kuwu Cirebon mengangkat Raden Walangsungsang sebagai Raksabumi (pejabat urusan pertanian dan pengairan), serta mengkatnya sebagai menantunya. Ia memberikan putrinya, Nyi Retna Riris alias Kencana Larang, untuk menjadi istri kedua Raden Walangsungsang.
Perjalanan Raden Walangsungsang ke Mekkah
Sejarah Cirebon Setelah sekian lama bekerja pada Kuwu Cerbon, Raden Walangsungsang ditawari untuk menunaikan ibadah haji oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi. Mengingat ada rombongan Saudagar Arab yang akan pulang ke negerinya membawa dagangan bertepatan dengan bulan Zulhijjah.
Tawaran menarik ini tak ditolaknya. Adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang pun ingin ikut naik haji. Dengan seijin kakeknya, Keduanya pun pergi berlayar ke tanah suci.
Di tanah suci Mekkah, Nyi Mas Ratu Rarasantang bertemu jodoh dengan seorang bangsawan Arab asal Palestina, bernama: Syarif Abdullah yang kemudian menjadi Sultan di negeri Yutra, bergelar Sultan Maulana Muhammad. Dari perkawinannya, lahirlah dua orang putera, yang pertama bernama: Syarif Hidayatullah dan kedua bernama: Syarif Nurullah. Putera pertama inilah yang kelak dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Setelah beberapa lama tinggal di Mekkah, Raden Walangsungsang pulang ke tanah air. Sementara adiknya bermukim di sana. Rute yang diambilnya melalui Aceh, Malaka, dan Campa (Kamboja). Di Campa, ia berganti nama: Haji Abdullah Iman atau Ki Samadullah.
Sempat tinggal beberapa lama dan berguru pada Syekh Maulana Ibrahim Akbar, kerabat Raja Campa, bahkan menikah dengan putrid gurunya. Istri ketiga dari Campa ini ikut ke Cirebon hingga akhir hayatnya, dan diberi nama: Nyi Rasa Sejati.
Setibanya di tanah air, ia kembali bekerja membantu Kuwu Cerbon. Tak berapa lama kemudian Ki Gedeng Alang-alang, atau Kuwu Cerbon pun wafat karena lanjut usia. Haji Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah pun ditunjuk untuk menggantikannya.
Pengangkatan Kuwu II
Dengan sepengetahuan Sang Ayah, yakni Prabu Siliwangi, Kuwu Cerbon II ini pun diangkat sebagai Adipati Cerbon dengan gelar Cakrabumi. Mungkin karena pada Anak, Prabu Siliwangi meningkatkan jabatan “Kuwu” Sang Anak menjadi setingkat dengan “Bupati”. Dengan kewajiban yang sama yakni membayar upeti kepada pemerintah pusat Pajajaran yang beribukota di Bogor.
Perlahan tapi pasti, diam-diam Cakrabumi terus memperkuat kekuasaannya. Ia terus memperluas wilayah Tegal Alang-alang, dan membentuk satuan penjaga keamanan dengan kualitas prajurit yang cukup besar, dengan tujuan menjaga keamanan dan ketertiban pelabuhan utara Muara Jati yang kian ramai.
Sejarah Cirebon Semua gerak-gerik dan sepak terjang Cakrabumi kian tercium oleh ayahnya, Prabu Siliwangi Maharaja Pajajaran. Namun, lagi-lagi mungkin karena kepada anak, Sang Ayah tak terlalu khawatir. Bahkan diberinya penghargaan dan diberi gelar: Tumenggung Sri Mangana Cakrabuwana.
Tak hanya itu, diberikannya tanda kebesaran “Mande Pajajaran”, yakni tempat duduk pejabat tinggi Kerajaan Pajajaran, berupa balai-balai yang di tengahnya ada kursi dari kayu jati berukir. Hingga sekarang, Mande Pajajaran itu masih terawat baik di Astana Gunung Jati, baru selesai direhabilitasi Th. 1995 atas prakarsa Gubernur Jawa Barat yang waktu itu dijabat oleh R. Nuriana.
Hubungan biologis Ayah-Anak antara Prabu Siliwangi dengan Tumenggung Cakrabuwana memang diwarnai pertentangan ideologis Hindu-Islam. Namun keduanya tetap berdamai. Kondisi tersebut mendorong kian kokohnya pemerintahan Tumenggung Cakrabuwana sebagai daerah otonom.
Sebagai penganut Islam, yang menganut falsafah rahmatan lil’alamiin (rahmat bagi semesta alam) hubungan Tumenggung relatif lebih luas dan terbuka ketimbang Prabu Siliwangi. Sebagai pusat bisnis dan perdagangan internasional, daerah Caruban telah memungkinkan pergaulan Cakrabuwana lebih global ketimbang Ayahnya yang usianya memang makin lanjut.
Pada situasi seperti ini, Cakrabuwana menjalin hubungan dengan Raden Patah di Demak, yang sedang sibuk menyusun kekuatan untuk meruntuhkan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Komunikasi dengan keponakannya, yaitu Syarif Hidayatullah, terus berlangsung intensif. Hingga keduanya sepakat untuk menyiapkan sebuah Kerajaan Islam di Cirebon.
Pemproklamiran Kerajaan Cirebon
Setelah situasi dinilai telah matang dan siap, Pangeran Cakrabuwana memproklamirkan wilayah kekuasaannya di Cirebon sebagai Kerajaan Islam. Namun tak melakukan konfrontasi dengan kerajaan Pajajaran. Sebagai daerah otonom, hal tersebut memang masih di mungkinkan. Mengingat bentuk Kerajaan Pajajaran adalah federal. Hubungan Kerajaan Cirebon dengan Kerajaan Pajajaran masih tetap baik.
Keraton Pakungwati
Pangeran Cakrabuwana kemudian membangun keraton Pakungwangi sekitar tahun 1430 sebagai pusat pemerintahan. Nama keraton tersebut diambil dari nama putri kesayangannya bernama: Nyi Ratu Desi Pakungwati. Letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.
Syekh Syarif Hidayatullah
Di sini lah segala sesuatunya berawal. Setelah menikah dengan Nyi Ratu Desi Pakungwati dan tinggal dalam keraton, Syekh Syarif Hidayatullah mengawali misi penyebaran Islam di Jawa Barat. Terlebih mengingat usia Pangeran Cakrabuwana kian sepuh, Syekh Syarif Hidayatullah menggantikan peranan beliau.
Sejarah Cirebon Program dakwah dan penyebaran Islam di tatar Sunda khususnya pun memasuki babak baru. Dari sini pula babak Cirebon sebagai kerajaan Islam dimulai.
(Sumber: Buku Membumikan Wasiat Sunan Gunung Djati)
Komentar